Rumah sakit jiwa
Lima belas November. Aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selang infus menancap di lenganku. Suara alat medis berdetak pelan, mengikuti ritme napasku yang tersengal. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bisa berdiri tegak tanpa merasa pusing atau kapan terakhir kali aku bisa berlari bebas di luar sana. Tubuhku terasa semakin rapuh seiring waktu, dan setiap helaan napas terasa seperti beban yang berat. Sebelum terbangun, aku mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu, aku berdiri di atas sebuah batu besar di tengah telaga yang luas. Airnya tenang dan berwarna keperakan, mencerminkan langit senja yang redup. Di sekelilingku, kabut tipis mengambang, membuat suasana terasa sunyi dan asing. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu—atau seseorang—tapi tidak ada siapa pun. Lalu, dari balik kabut, samar-samar muncul sosok seseorang. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi suara lembutnya menggema di udara. "Selamat tinggal," katanya, lirih, hampir seper...