Rumah sakit jiwa

 Lima belas November. Aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit, selang infus menancap di lenganku. Suara alat medis berdetak pelan, mengikuti ritme napasku yang tersengal. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bisa berdiri tegak tanpa merasa pusing atau kapan terakhir kali aku bisa berlari bebas di luar sana. Tubuhku terasa semakin rapuh seiring waktu, dan setiap helaan napas terasa seperti beban yang berat.


Sebelum terbangun, aku mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu, aku berdiri di atas sebuah batu besar di tengah telaga yang luas. Airnya tenang dan berwarna keperakan, mencerminkan langit senja yang redup. Di sekelilingku, kabut tipis mengambang, membuat suasana terasa sunyi dan asing. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu—atau seseorang—tapi tidak ada siapa pun.


Lalu, dari balik kabut, samar-samar muncul sosok seseorang. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi suara lembutnya menggema di udara. "Selamat tinggal," katanya, lirih, hampir seperti bisikan angin. Hatiku mencelos. Aku mencoba melangkah mendekat, tetapi tubuhku terasa berat. Aku ingin bertanya siapa dia, mengapa dia mengatakan itu, tapi tenggorokanku tercekat. Kabut semakin menebal, menelan sosok itu perlahan. Aku ingin berteriak, tapi sebelum sempat melakukannya, tubuhku terasa melayang, tenggelam ke dalam air yang dingin.


Aku terbangun dengan napas memburu. Dada terasa sesak, keringat dingin membasahi pelipis. Aku menatap langit-langit kamar rumah sakit, mencoba mengatur napas dan memahami mimpi aneh yang baru saja kualami. Ada perasaan aneh yang tertinggal—seolah mimpi itu bukan sekadar bunga tidur, melainkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang berusaha memberitahuku sesuatu. Namun, sebelum aku sempat memikirkannya lebih jauh, aku menoleh ke samping dan melihat ibu yang duduk di kursi, wajahnya terlihat letih tetapi tetap berusaha tersenyum.


Dalam suara serak, aku bertanya, "Bu, kenapa Arka belum datang menjenguk?"


Ibu terdiam. Wajahnya menegang, dan matanya yang basah memandangku penuh keraguan. Aku menunggu jawaban, tetapi yang kudapat hanyalah keheningan. Jantungku berdebar lebih kencang. Aku mengulang pertanyaan, kali ini lebih pelan, hampir berbisik, "Ibu, Arka kenapa tidak datang?"


Ibu menggenggam tanganku erat, seolah mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu yang sulit. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Sayang… Arka…"


Suara ibu bergetar, dan ia tak sanggup melanjutkan. Aku menatapnya, berharap penjelasan yang masuk akal, sesuatu yang bisa menenangkan hatiku. Namun, sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, aku melirik jam dinding yang tergantung di seberang ruangan. Aku mengerjap, merasa waktu berjalan begitu lambat. "Jam berapa sekarang, Bu?" tanyaku pelan.


Ibu menoleh sekilas ke jam, lalu kembali menatapku dengan senyum lembut. "Sudah hampir jam tujuh malam, Nak. Kamu tidur cukup lama tadi," katanya sambil membelai rambutku pelan. Sentuhannya selalu membawa ketenangan, membuatku sedikit lupa akan rasa sakit yang menjalar di tubuhku.


Aku mengangguk kecil. "Rasanya aku baru saja tidur sebentar," gumamku, mencoba mengabaikan kantuk yang masih menggantung. "Tadi aku mimpi aneh, Bu. Aku berdiri di atas batu di tengah telaga, lalu ada seseorang yang mengatakan selamat tinggal. Aneh, ya?"


Ibu tersenyum tipis, masih membelai tanganku. "Kadang mimpi adalah cara hati kita berbicara, Nak. Mungkin ada sesuatu yang ingin kamu mengerti, atau mungkin… seseorang ingin kamu lepaskan," katanya dengan suara hangat. Aku menatapnya dalam, meresapi setiap kata yang ia ucapkan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat dadaku terasa hangat, meskipun aku belum sepenuhnya memahami maksudnya.


Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna jawaban ibu, tapi pikiranku masih dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. Aku menatapnya dengan ragu, lalu menghela napas pelan. "Bu," suaraku nyaris berbisik, "kalau begitu… Arka benar-benar belum datang hari ini?" Aku berharap ibu akan mengatakan sesuatu yang menenangkanku, bahwa Arka hanya terlambat atau ada urusan lain yang membuatnya belum sempat menjenguk. Namun, ibu hanya diam, jemarinya menggenggam tanganku lebih erat, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang sulit ia ucapkan.


Melihat ekspresi ibu yang sendu, dadaku semakin sesak. Aku menelan ludah, lalu mengulangi pertanyaanku dengan suara sedikit bergetar. "Bu… Arka kenapa tidak datang? Dia baik-baik saja, kan?" Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca, bibirnya terbuka seolah ingin menjawab, tapi tak ada kata yang keluar. Aku merasa jantungku berdegup lebih kencang, sementara perasaan aneh semakin menghimpit dada. Aku ingin mendengar kepastian, tapi aku juga takut akan jawaban yang akan kudapatkan.


Ibu terdiam. Wajahnya menegang, dan matanya yang basah memandangku penuh keraguan. Aku menunggu jawaban, tetapi yang kudapat hanyalah keheningan. Jantungku berdebar lebih kencang. Aku mengulang pertanyaan, kali ini lebih pelan, hampir berbisik, "Ibu, Arka kenapa tidak datang?"


Ibu menggenggam tanganku erat, seolah mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu yang sulit. Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Sayang… Arka…"


Suara ibu bergetar, dan ia tak sanggup melanjutkan. Aku menatapnya, berharap penjelasan yang masuk akal, sesuatu yang bisa menenangkan hatiku. Namun, semakin lama aku berpikir, semakin banyak hal yang terasa janggal. Aku mengingat kembali momen-momen bersama Arka, tapi mengapa aku tak bisa mengingat kapan terakhir kali ada orang lain yang melihatnya bersamaku?


Aku menoleh ke meja kecil di samping tempat tidur dan meraih ponselku. Jemariku lemah, tapi aku berhasil membuka galeri. Foto-foto yang kuambil selama ini—piknik, ulang tahun, jalan-jalan di taman—semuanya hanya ada aku. Tak ada Arka. Aku merasa pusing, seolah kenyataan mulai bergeser di depanku.


"Bu… kenapa tidak ada Arka di foto-foto ini?" suaraku nyaris tak terdengar.


Ibu terisak, menggenggam tanganku lebih erat. "Sayang… Arka tidak pernah ada. Kau sakit, Nak. Kanker itu… sudah terlalu lama bersamamu. Arka hanya ada dalam imajinasimu. Kau menciptakannya… untuk menemanimu melewati semua ini."


Dunia terasa runtuh. Dingin merayapi tubuhku, bukan karena udara, melainkan kenyataan yang menghantam begitu keras. Aku telah hidup dalam kebohongan yang kubangun sendiri. Selama ini, aku hanya berlari dari kenyataan.


Aku ingin menangis, ingin berteriak. Tapi hanya sesak yang memenuhi dadaku. Aku telah membiarkan diriku larut dalam imajinasi, menutup diri dari dunia, hingga terlambat menyadari bahwa aku tak pernah benar-benar sendiri. Keluargaku ada di sini, mencintaiku, tetapi aku memilih tenggelam dalam bayangan yang tidak nyata.


Kenangan mulai bergulir di benakku, mengingat saat-saat aku berbicara dengan Arka, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Namun, semakin aku mengingat, semakin jelas bahwa aku selalu sendiri dalam ruangan ini. Foto-foto yang kuambil selama ini, tempat kosong di sampingku, bayangan yang tidak pernah ada di cermin—semuanya seakan menjadi kepingan puzzle yang kini tersusun dengan pahit.


Aku ingin menolak kenyataan, tapi tak bisa. Tubuhku terlalu lemah, pikiranku terlalu lelah. Aku menggenggam selimut dengan jemari yang gemetar, menatap langit-langit kamar dengan perasaan hampa.

Komentar

  1. Aku si kurang mengerti cerpen itu gimana,tapi ini udah bagus banget kok, terus semangat berkarya ya broo

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah?

Sembilu Rasa